SKRIPSI : KEPASTIAN HUKUM TERHADAP HAK KREDITUR TERKAIT CROSS BORDER INSOLVENCY DALAM ANALISIS UU KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG
Cross border insolvency atau kepailitan lintas batas dapat terjadi apabila permasalahan kepailitan tersebut mengandung unsur asing (foreign elements), antara lain karena aset debitur ada di berbagai yurisdiksi negara. Penulis meneliti kepastian hukum terhadap hak kreditur terkait cross border insolvency berdasarkan UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang dengan tujuan untuk mengetahui dan menganalisa pengaturan cross border insolvency dalam undang-undang tersebut. Selain itu, untuk mengetahui dan menganalisa implikasi terhadap hak kreditur terkait pengaturan cross border insolvency dalam UU Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Untuk mencapai tujuan di atas, penulis melakukan penelitian deskriptif, yaitu menganalisa dan menggambarkan secara sistematis, faktual, dan akurat kepastian hukum terhadap hak kreditur terkait cross border insolvency dalam UU Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Jenis penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach). Data diperoleh melalui studi dokumen dan dianalisa dengan menggunakan metode normatif kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa pengaturan cross border insolvency dalam UU Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang sangat terbatas, hanya diatur dalam tiga ketentuan, yaitu Pasal 212, Pasal 213, dan Pasal 214. Undang-undang ini tidak mengatur secara tegas dan rinci mengenai mekanisme dan prosedur cross border insolvency. Pasal 212 menunjukkan adanya pengakuan terhadap harta pailit yang berada di luar wilayah Indonesia (cross border insolvency), namun dalam praktik tidak mudah untuk melakukan eksekusi terhadap harta pailit yang berada di luar wilayah Indonesia. Hal ini disebabkan UU Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menganut prinsip universal yang pada dasarnya bertentangan dengan prinsip yang dianut dalam hukum perdata internasional Indonesia. Hukum perdata internasional Indonesia menganut prinsi teritorialitas, yaitu prinsip yang membatasi putusan pailit hanya mengenai bagian-bagian harta benda yang berada atau terletak di dalam wilayah negara tempat putusan itu dijatuhkan. Implikasi terhadap hak kreditur terkait pengaturan cross border insolvency dalam UU Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, antara lain tidak terpenuhinya hak-hak kreditur berdasarkan putusan pailit. Kreditur tidak memperoleh pelunasan atas piutang-piutangnya dari harta debitur pailit karena eksekusi terhadap harta debitur pailit yang berada di luar wilayah Indonesia tidak bisa dilakukan. Hal ini disebabkan eksekusi terhadap harta debitur pailit berdasarkan putusan pailit yang dijatuhkan Pengadilan Niaga di Indonesia tidak dapat dilaksanakan di wilayah negara lain, dan sebaliknya. Keadaan ini menyebabkan inkonsistensi dalam pelaksanaan hukum kepailitan yang berujung pada ketidakpastian hukum terhadap hak-hak kreditur.
Tidak tersedia versi lain